Minggu, 05 Mei 2013

Bioshock Infinite

 


aku kasi story dari game ini dulu, disini kita memainkan tokoh booker awalnya kita diberikan job untuk mencari seorang Gadis bernama Elizabeth, sebenarnya elizabeth ini adalah anak Booker yang diculik oleh Pendeta bernama Comstock, Booker lalu berkelana ke negeri diatas langit bernama Columbia, ternyata disini Booker diramalkan akan membawa kekacauan, dia terus - menerus mencari gadis tersebut dan bertemu di menara. Disana, elizabeth dikurung. Elizabeth ternyata memiliki kekuatan supranatural, dia dapat membuka pintu ke tempat lain dengan waktu yang berbeda - beda bisa lampau bisa saat ini dan masa depan. Setelah itu kita akan melalui banyak sekali prajurit dari comstock dan berbagai tempat yang desainnya abad 18,

Ending game ini character kita akhirnya mengetahui bahwa elizabeth adalah anaknya dan dia berniat kembali ke saat elizabeth di culik, tapi ternyata disaat pintu dimensi dibuka hanya ada seorang pendeta (pendeta ini akan kalian temui di awal kalian berada di columbia), elizabeth memaksa untuk booker mengakui semua kesalahannya atau dibaptis, tapi pada ending game Booker dibaptis sekaligus meninggal disana.

Kesimpulan yang saya dapat dari story game ini adalah semua hal yang dihadapi oleh character kita di storynya bertujuan untuk menyadarkan character untuk mengakui kesalahan dan meminta pengampunan.

ok sekarang kita lanjut ke review :

1. Story dari Game ini Bagus sekali, pertamanya memang mebingungkan dan sulit di tebak, tapi
    endingnya ternyata sangat keren, tidak diragukan memiliki rating game yang tinggi.
2. Grafis Bagus, detail senjata lama, detail tempat, bahkan lagu - lagunya sangat melambangkan
    suasana jaman dulu
3. Gerak character layaknya FPS, tapi disini kita juga diberikan skill - skill tambahan untuk
    membantu kita dalam fight
4. Story juga dicampur atau diikutkan sekaligus game play jadi tidak berbentuk film, disini story
    langsung bersamaan dengan kita play.
5. dalam game tidak perlu takut hilang arah, karena layaknya di RE 6 disini kita juga dibantu
    Navigasi.

Bagi yang belum mencoba silahkan langsung di coba saja, game ini bagi saya sangat memuaskan.

tapi bagi yang trauma lagu lama, sebaiknya jangan memainkannya di malam hari, mungkin beberapa orang yang pernah menonton insidious akan rada takut dengan suasana game ini.

after all, game ini memang sangat TOP.

sekian review sayya, review ini saya buat sendiri tanpa copy paste di blog lain. jadi apabila ada kesalahan atau kurang pas di hati saya mohon maaf dan minta kesediaannya untuk menginformasikan.

Resident Evil 6

 


Berangkat dari sebuah judul yang menekankan horor dan esensi survival di dalamnya, Resident Evil (Biohazard) tumbuh menjadi salah satu franchise game horor paling populer yang pernah ada. Gamers yang melewati masa kejayaan PlayStation pastinya tidak akan lupa betapa horornya berada di sebuah mansion penuh jebakan dan makhluk-makhluk mengerikan. Atau mungkin juga momen dimana seorang pemilik toko senjata menjadi santapan kawanan mayat hidup? Tidak jarang membuat jantungan, tapi perlu diakui bahwa sensasi itulah yang membuat Resident Evil disukai dan bisa sebesar sekarang.
Akan tetapi, apa jadinya kalau franchise game yang dikenal sedemikian rupa kini berubah dan melepaskan citraan yang pernah membesarkannya? Itulah hal yang kelihatannya sedang menimpa pengembangan terbesar dan yang juga paling baru, Resident Evil 6 (RE6).
Resident Evil 6 Review VGI
Jangan salah, bukan berarti game ini adalah sebuah game yang jelek. Hanya saja, perubahan yang dialaminya telah membuat franchise ini tambah jauh dari akar survival horror yang membesarkan namanya. Memang bukan baru terjadi, mengingat kecenderungan tersebut sudah lebih dulu ditunjukkan melalui sejumlah judul sebelum ini. Tetapi, RE6 tampak semakin menegaskan arah mana yang dituju franchise-nya sekarang dan mungkin juga nanti. Ambisi Capcom sepertinya malah menjadikan RE6 terkesan lebih tidak konsisten dari segi gameplay.
Seiring dengan perkembangannya, cerita yang mulanya berawal dari lingkup sebuah mansion dan kota yang terserang zombie outbreak kini meluas ke tingkat dunia. Ancaman bio-terrorist yang makin serius dilancarkan Neo-Umbrella telah membawa para jagoan kita dari Edonia, Amerika, sampai ke kota Lanshiang, China. Tidak hanya menciptakan tragedi di tempat-tempat tersebut, situasi itu diperparah dengan infeksi virus yang lebih berbahaya dibanding T-Virus. Adalah C-Virus, yang telah melahirkan B.O.W. (Bio Organic Weapon) jenis baru dan makhluk-makhluk mutasi disebut J’avo. Situasi dunia yang sedang kritis seolah tidak menyisakan harapan.
RE6 membawakan ceritanya dalam sudut pandang 3 campaign dengan 6 jagoan di dalamnya. Tidak hanya kembali menghadirkan Leon S. Kennedy, Chris Redfield dan Sherry Birkin yang sudah bertumbuh dewasa, cerita kali ini turut memperkenalkan beberapa karakter playable baru sebagai pasangan dari muka-muka lama tersebut. Agen USSS (United States Secret Service) Helena Harper yang harus terjebak bersama Leon, Piers Nivans yang menjalankan misinya di bawah kepemimpinan Chris, dan Jake Muller yang diyakini Sherry sebagai kunci penyelesai atas permasalahan yang tengah terjadi. Masing-masing campaign menampilkan cerita yang berdiri sendiri-sendiri, dengan kesinambungan satu sama lain yang melengkapi keutuhan ceritanya.
Cerita yang dikemas berbeda menurut campaign-nya, menawarkan pula karakteristik yang beragam untuk gameplay-nya masing-masing. Sesuatu yang sebenarnya boleh dikatakan punya nilai positif, mengingat adanya gamers dengan preferensi gameplay yang berbeda-beda. Akan tetapi, kabar buruknya adalah tidak satupun campaign di antaranya yang benar-benar dapat memuaskan ekspektasi akan gameplay survival horror yang sebenarnya. Perubahan benar-benar telah menghapuskan sejumlah faktor keterbatasan yang membuat RE dulunya menegangkan. Selalu hadirnya karakter partner dan AI lainnya tidak akan membuat kamu merasa sendirian lagi, tampilan third-person shooter dari RE4 yang membuat kamu lebih memegang kendali atas keadaan di sekitar, ataupun berkurangnya setting dalam ruangan yang pernah menciptakan claustrophobic (ketakutan akan ruang tertutup) di judul-judul terdahulu. Predikat survival horror rasanya memang tidak mengena sama sekali untuk pengembangan terbaru ini.
Padahal, improvisasi adalah sesuatu yang harusnya dilakukan untuk mendukung konsep yang ditawarkan game-nya. Jelas, konsep survival dan horror sama sekali sudah menipis dengan karakter-karakter yang bahkan dapat melakukan melee attack tanpa perlu lebih dulu membuat stagger lawan, AI rekan yang (hampir) tidak bisa mati, dan kemampuan manuver gerakan yang memberikan kesan lebih action. Adapun sedikit hal yang jadi batasan hanya terletak pada adanya physical combat gauge yang membuat kamu tidak bisa setiap saat menggunakan melee dan tidak adanya pause menu yang memberikan kesan real-time di sepanjang campaign. Minimnya elemen puzzle dan adanya fitur route guide pun semakin memudahkan gamers untuk sampai pada objective yang dituju. Lalu, ada juga health tablets yang menyederhanakan penggunaan herb sebagai healing item di samping First Aid Spray yang kembali hadir dan fitur Skills yang memberikan tambahan atribut semacam perks.
Tidak hanya melepas apa yang semestinya jadi identitasnya, ketidakkonsistenan merupakan satu permasalahan utama yang menimpa gameplay RE6. Capcom mencampuradukkan elemen-elemen yang diyakininya sebagai formula sukses dari nama game lain. Sementara elemen-elemen itu dapat menjadi kekuatan pada judul-judul yang dimaksud, hal ini seolah malah berpotensi jadi cela bagi RE6. Contoh saja, implementasi QTE (quick-time event) yang dilakukan cukup berlebihan, segmen dengan beragam kendaraan (dari snowmobile, motor, bahkan sampai VTOL aircraft) dan on-rail shooting, cover-based shooting, platforming, bahkan hingga stealth. Yup, kamu tidak sedang salah masuk artikel, kita memang masih membahas tentang RE6. Dengan komposisi yang seperti itu adanya, bisa ditebak kalau intensitas action memang jadi kepuasan tersendiri untuk gamers yang menikmatinya.
Sebenarnya, campaign yang berbeda-beda dan mekanisme yang bercampuraduk bukannya sesuatu yang tanpa alasan dimasukkan. Premis cerita RE6 menempatkan campaign para karakter pada situasinya masing-masing. Leon dan Helena yang berusaha menemukan dalang di balik kekacauan kali ini, Chris dan Piers yang berkutat dalam perang melawan infeksi C-Virus, dengan Jake dan Sherry yang harus bertahan hidup demi mengakhiri krisis yang sedang terjadi. Situasi yang demikian menjadikan gameplay lebih berorientasi pada eksplorasi dan masih adanya kesan survival dalam campaign Leon, sedangkan konsep yang lebih kontras didapati pada campaign Chris dimana gameplay dirancang untuk menciptakan situasi perang dalam skala lebih besar. Lain halnya pula untuk campaign Jake yang punya banyak porsi QTE dan sinematisasi gameplay. Meski QTE bukanlah hal baru dalam serial RE, penyertaan kali ini mengeksploitasinya dengan penempatan momen yang tidak selalu dirasa tepat dan mendadak.
Hal-hal baru yang dipaksakan untuk ada merupakan satu yang menjadi dasar permasalahan RE6. Cukup banyaknya hal tidak lazim untuk ukuran sebuah game RE dan memberikan kesan yang kurang natural di dalamnya seperti memang membenarkan pergeseran target yang pernah dinyatakan Capcom. Terlebih, hal-hal tersebut dibarengi oleh improvisasi secara mekanisme yang lebih up-to-date dengan game action/shooter masa kini, sekaligus membuat pemainnya lupa akan tanggung jawab dari judul yang masih disandangnya.
Dengan sudut pandang third-person dan aiming yang sudah dapat dilakukan sambil bergerak, bukan berarti kamera telah sepenuhnya bebas dari kendala. Tampilan kamera ada kalanya masih dirasa membatasi ketika kamu berada di ruang-ruang tertentu, aiming di balik cover object, dan perubahan posisi kamera yang kerap dialami pada momen tertentu. Masalah yang berbeda lagi ditemukan pula lantaran pengaruh kurangnya pencahayaan yang membuat gelap di sini terasa agak kurang wajar. Kesan grafis kali ini sebagai aspek yang masih jauh dari memuaskan juga ditimbulkan oleh teknis obyek, bayangan dan detil environment yang tampak bertekstur kasar pada in-game. Setidaknya, game ini masih aman dari permasalahan teknis yang dapat berpengaruh terhadap gameplay dan punya animasi karakter yang lebih banyak dari sebelumnya.
Secara visual, campaign yang beragam turut membagi setting-nya ke sejumlah lokasi yang bervariasi. Sementara lokasi-lokasi beratmosfer gelap mengisi porsi yang cukup besar dalam campaign Leon, sejumlah lokasi lain dengan nuansa yang berbeda halnya pun tidak ketinggalan dihadirkan untuk campaign dari Chris dan Jake. Ragam variasi secara visual yang lainnya juga tidak hanya diperlihatkan melalui setting, tapi juga desain makhluk-makhluk pendatang baru yang dihadirkan kali ini. Dan sebagaimana layaknya sebuah pengembangan baru, jagoan-jagoan kita pun mendapat penampilan baru yang membuat masing-masingnya kelihatan tambah keren.
Lain konsep, lain pula penyajian atmosfer melalui suaranya. Dengan konsep yang lebih sinematik, RE6 cenderung banyak diisi dengan musik yang tematis untuk mengiringi situasi-situasi yang sedang dibawakannya. Sesuatu yang cukup membedakannya dari konsep survival horror-nya terdahulu yang cenderung lebih sedikit membawakan musik dan lebih banyak bermain dengan efek-efek suara di tengah sunyi. Selebihnya, game ini kembali menghadirkan kualitas voice acting yang menghidupkan penceritaannya.
Dengan adanya tiga campaign yang dapat dimainkan dan punya alur skenarionya sendiri-sendiri, dapat diekspektasikan bahwa game ini punya nilai tambah dari segi durasi. Bayangkan saja apabila satu campaign-nya (terdiri dari lima chapter) menyita waktu normal sekitar 8-10 jam untuk diselesaikan, maka paling sedikitnya kamu sudah punya lebih dari 20 jam memainkannya. Dan tiga belumlah semuanya. Dengan menyelesaikan ketiga campaign tersebut, kamu dapat membuka karakter keempat sekaligus campaign terakhir: Ada Wong. Tidak hanya menghadirkan si cantik ini dalam tampilan barunya, campaign Ada menampilkan pula rancangan gameplay yang dibedakan lagi dari ketiga lainnya. Campaign ini mengemas elemen stealth sekaligus puzzle bergaya klasik, dan juga cerita yang menjawab beberapa pertanyaan dari campaign sebelumnya.
Di samping total empat campaign yang playable dalam durasi cukup panjang, RE6 membawa kembali mode The Mercenaries yang menempatkan kamu untuk menghabisi lawan sebanyak-banyaknya dalam batasan waktu tertentu dan menghadirkan mode baru yang disebut Agent Hunt. Agent Hunt menjadi mode dimana kamu dapat masuk ke campaign pemain lain secara online bukan untuk membantu mereka, melainkan untuk menggagalkan campaign-nya. Uniknya, tampilan gameplay akan dibawakan dari sudut pandang makhluk-makhluk yang muncul pada bagian campaign pemain yang kamu masuki. Dengan variasi makhluk yang beragam di campaign-nya, maka pilihan makhluk yang dapat kamu coba mainkan pun ada cukup banyak. Turut menambah waktu bermain kamu di game ini adalah macam-macam Skills yang dapat digunakan menurut mode-nya dan Serpent Emblem sebagai collectibles. Multiplayer di RE6 juga tidak hanya dapat dilakukan secara online, tapi juga split-screen, baik saat co-op campaign maupun The Mercenaries.

Melalui pengembangan RE6, nama Resident Evil sepertinya memang bukan lagi franchise yang pernah kamu kenal dulunya. Buruk? Bisa jadi, mengingat judul ini malah menghilangkan identitas yang seharusnya menjadi khas dan pernah membuatnya sebagai salah satu pionir di genre survival horror. Akan tetapi, ingin saya tekankan kembali bahwa game ini sama sekali tidaklah jelek. Elemen action yang menyusun komposisi gameplay dan sinematisasinya pun perlu diakui cukup berhasil apabila memang itulah yang dituju Capcom. Apalagi, game kali ini seakan telah mengemas langsung empat game sekaligus.
Namun yang disayangkan, inovasi berani yang pernah diperkenalkan sejumlah judul RE dulunya seolah telah dilupakan dengan membuat sebuah pengembangan yang malah mengadaptasi banyak hal dari game lain. Sementara hal ini akan membuatnya terkesan lengkap dan cukup memuaskan untuk dibeli oleh gamers yang menyukai sensasi action dan fans yang bisa menerimanya, tidak sedikit pula yang akan menganggap pengembangan kali ini sebagai degradasi dari konsep gameplay yang pernah membentuknya hingga sebesar sekarang. Termasuk yang manakah kamu? (LYR)

VGI Ratings for Resident Evil 6

7.0 Gameplay Sarat action yang intens, menampilkan banyak mekanisme yang diadaptasi dari game lain. Gameplay yang disambut baik para penyuka action, namun berlaku sebaliknya untuk mereka yang mencari esensi survival horror. Pertanyaannya, masihkah ini sebuah RE?
6.5 Graphic Visualisasi yang potensial disayangkan oleh kualitas grafis yang menyajikan tampilan in-game secara ala kadar. Kurang memenuhi ekspektasi akan standar grafis sebuah judul RE masa kini yang seharusnya.
8.0 Sound Momen-momen intens diiringi oleh musik yang tematis. Berbeda dari konsep survival horror RE dulu yang lebih banyak bermain dengan efek untuk menciptakan ketegangan.
8.0 Longevity Empat campaign dengan skenario berdurasi panjang. Belum lagi dengan Skill dan Serpent Emblems untuk dikumpulkan, juga mode tambahan yang dapat dimainkan secara multiplayer online/split-screen.
7.0 Good
Overall

CRYSIS 3

   ·  

Jika kita menyebut salah satu hal yang identik dengan nama Crysis selama ini, maka kualitas visual selalu menjadi salah satu nilai jual yang tidak bisa lepas darinya. Menggebrak industri game lewat CryEngine yang luar biasa, Crysis pertama memang harus diakui telah menggemparkan industri game itu sendiri. Sebelum kemunculannya, belum pernah ada sebuah game yang membuat platform terkuat sekalipun bertekuk lutut menyerah. Namun sayangnya, proses pengembangan yang didasarkan pada kualitas konsol membuat seri keduanya tidak sehebat yang dibayangkan, meninggalkan kekecewaan dan kritik dari banyak penggemar setianya. Sesuatu yang berusaha diperbaiki oleh Crytek di seri ketiga ini.
Jauh sebelum rilisnya, Crytek memang mengklaim banyak hal untuk seri ketiga yang diposisikan sebagai akhir dari trilogi ini, dari kehadiran beberapa karakter lawas, perubahan gameplay, hingga yang terpenting – usahanya untuk mencapai supremasi kembali secara visual. Untuk memastikan hal ini terjadi, mereka akan mengubah konsep pengembangan yang di seri kedua berbasis konsol, kembali ke pangkuan PC. Berhasilkah? Tentu saja. Setting terbaik yang ditawarkan oleh Crysis 3 akan membuat sebagian besar PC terkuat berteriak panik. Anda yang sempat membaca preview kami sebelumnya tentu saja sudah memiliki sedikit gambaran akan kualitas visual seperti apa yang ia tawarkan.
Lantas, apakah ini menjadi satu-satunya nilai jual yang ia tawarkan? Ataukah Crysis 3 masih menyimpan segudang pesona yang lain? JagatPlay akan membahasnya lebih dalam  lewat review kali ini.

Plot

Welcome back, Prophet!
Sebagian besar dari Anda yang sempat memainkan Crysis 2 dan menamatkannya mungkin bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi antara Prophet dan Alcatraz. Bukankah Prophet sudah tewas di seri kedua, mengapa ia kembali menjadi karakter utama di seri ketiga ini? Prophet memang memberikan nanosuit-nya untuk Alcatraz di seri kedua dan tewas, namun pada akhirnya, semua memori dan identitasnya yang tersimpan di nanosuit tersebut tersinkronisasi dan “mengambil alih” sosok Alcatraz. Alhasil? Prophet “lahir kembali” dalam tubuh Alcatraz, sementara kesadaran Alcatraz sendiri sebagai individu lenyap. Oleh karena itulah, Anda menemukan Prophet kembali.
Persinggungannya yang intens dengan teknologi Ceph selama seri kedua membawa Prophet menyadari satu hal, eksistensi Alpha Ceph –  sebuah ras Ceph utama yang masih menjadi ancaman terbesar dunia. Bersama dengan comrade-nya yang lain, Prophet pun melacak dan berusaha menghancurkan Alpha Ceph, namun sayangnya ditundukkan oleh kelompok militer CELL. Tidak hanya sekedar kalah, semua pasukan pendamping Prophet yang masih memiliki nanosuit juga dikuliti, meminimalisir ancaman yang mungkin ditimbulkan untuk rencana dominasi CELL di masa depan. Namun untungnya, keunikan nanosuit yang dimiliki oleh Prophet membuat dirinya “selamat”dari proses memilukan yang satu ini. Prophet pun ditahan dalam sebuah tabung EMP dan diasingkan. Untungnya, para mantan penggunna Nanosuit seperti Psycho tetap berjuang untuk menyelamatkannya.
Setelah bangun dari tidurnya yang panjang – Prophet harus berhadapan dengan sebuah dunia yang berbeda, dunia yang kini jatuh di tangan monopoli dan dominasi CELL.
Prophet masih melihat Alpha Ceph sebagai ancaman terbesar, namun Psycho dan anggota Resistance yang lain melihat Prophet sebagai jalan keluar untuk mematahkan monopoli energi yang dilakukan oleh CELL.
The war begin!
24 tahun setelah event terakhir di Crysis 2, Psycho akhirnya berhasil menyelamatkan Prophet dari tangan CELL. Namun dunia telah berubah. Alih-alih terancam oleh invasi Ceph, dunia kini sedang menghadapi keserakahan dan monopoli energi yang tengah dilakukan oleh CELL, membuatnya menjadi organisasi dan perusahaan paling kuat di dunia . Prophet harus berhadapan dengan sebuah dunia yang berbeda, termasuk kota New York yang kini sudah luluh lantak dan diselubungi oleh sebuah kubah yang diklaim CELL untuk melindungi para penduduk dari serangan lanjutan Ceph – Nanodome. Pertarungan kepentingan pun terjadi. Prophet yang baru sadarkan diri masih bertahan dengan misinya untuk mencari dan menghancurkan Alpha Ceph, sementara Psycho melihat CELL sebagai ancaman yang lebih besar dan menjadikan Prophet sebagai satu-satunya senjata yang dapat diandalkan. Prophet akhirnya setuju untuk membantu menghancurkan CELL dan menjadikan System X – sumber energi utama CELL sebagai target utama. Namun apa yang terjadi? Eksplorasi System X justru membantu Prophet membawanya ke dalam misteri yang dalam akan eksistensi Alpha Ceph.
Bendungan yang krusial bagi CELL ini menjadi salah satu target utama Prophet dan kelompok pemberontak yang lain.
Apa yang sedang dilakukan oleh para Ceph ini?
Apa yang akan ditemukan oleh Prophet di System X? Apa itu sebenarnya Alpha Ceph? Semua jawaban dari pertanyaan ini dapat Anda temukan dengan memainkan Crysis 3 ini.
Lantas apa yang sebenarnya disimpan CELL di System X ini? Mampukah Prophet menemukan Alpha Ceph dan menghancurkannya, atau ia akan terus terjebak pada perang melawan dominasi CELL? Bagaimana akhir dan kesimpulan dari pertempuran selama tiga seri ini? Semua jawaban dari pertanyaan ini dapat Anda temukan dengan memainkan game yang satu ini.

Lara Croft Tomb Raider Reboot

 

Lara Croft mulai menjadi ikon yang tak lagi relevan di dunia gaming masa sekarang. Kenyataan pahit ini harus diterima ketika penjualan dari game-gamenya setelah Tomb Raider: Legend terus mengalami penurunan. Kegagalan Tomb Raider: Anniversary masih bisa dimaklumi sebab game tersebut lebih bersifat sebagai remake dari game pertamanya ketimbang sebuah game baru tetapi ketika Tomb Raider: Underworld yang dipromosikan secara gencar dan memiliki banyak tambahan baru dari Legend hanya bisa terjual setengah dari jumlah pendahulu-pendahulunya tim Crystal Dynamics menyadari bahwa mereka perlu melakukan suatu perubahan supaya Lara Croft dan franchise Tomb Raider kembali relevan.
Dalam masa proses tersebut para fans lama dari Tomb Raider harus gigit jari melihat banyak fans baru menyatakan bahwa era Lara sudah berlalu dan sekarang adalah era dari Nathan Drake di Uncharted. Toh Crystal Dynamics membungkam nada-nada miring tersebut setelah memperlihatkan trailer Tomb Raider yang sangat mengesankan di E3 2011. Sejak saat itu antisipasi orang akan game Tomb Raider terus membuncah, membuat reboot ini menjadi salah satu titel yang paling diantisipasi gamer di tahun 2013 ini. Sanggupkah Lara menjawab kerinduan para penggemarnya?
An Icon Reinvented
Kalau dipikir-pikir menarik juga melihat bahwa Lara Croft adalah salah seorang jagoan yang tak memiliki kisah origin yang pasti. Bahkan para penggemar Tomb Raider pun mungkin bakalan bingung bila ditanya mengenai kisah awal Lara Croft menjadi seorang petualang mengingat ada banyak sejarah simpang siur mengenainya baik dari game maupun dari film. Di sini Crystal Dynamics melihat celah dan memutuskan untuk melakukan keputusan yang berani; melakukan reboot bagi seluruh universe Tomb Raider.
Oi! Aku bukan makananmu!
Keputusan reboot ini memang sedang trend dan memberikan awal yang fresh bagi sebuah franchise yang menua. Ini sukses dilakukan untuk James Bond, Batman, dan Star Trek. Tomb Raider mengikuti pakem yang sama. Lara Croft di dalam game ini bukan lagi sosok hero petualang yang tak takut akan marabahaya apapun yang menghadangnya. Sebaliknya ini adalah seorang gadis yang baru saja lulus dari kuliahnya dan terlibat dalam sebuah ekspedisi yang kacau. Semula tujuan dari Lara dan teman-temannya adalah mencari sejarah Himiko, putri Matahari negeri Jepang, tetapi ternyata sebuah badai justru membuat mereka terdampar di sebuah pulau misterius.
Mirip dengan serial Lost Lara dan kawan-kawannya tidak sendiri di pulau itu. Ada grup yang dipimpin oleh Mathias, sebuah kult sinting yang ingin ritual pengorbanan dan tak segan untuk membunuh para kaum pendatang. Kini Lara bersama dengan kawan-kawannya untuk bertahan hidup sekaligus meloloskan diri dari tempat tersebut. Transformasi Lara dari sang gadis polos menjadi seorang gadis yang lebih tangguh dan berani adalah bagian yang paling menarik dalam game ini. Sungguh ini merupakan sebuah reboot yang sempurna.
Tomb Raider Cover
Uncharted Raider
Saya tahu tidak adil melakukan perbandingan game ini dengan Uncharted tetapi saya tetap harus melakukannya. Sebab rombakan dari Crystal Dynamics ini mengambil banyak inspirasi dari hit Naughty Dog tersebut. Salah satu poin yang diadaptasi dengan sangat baik adalah kontrol ketat untuk platforming dari Lara. Salah satu hal yang tak saya sukai dari setiap game Tomb Raider sebelumnya adalah kontrol. Saya tak pernah suka dengan perasaan bingung “Wah ke mana lagi nih saya harus pergi?” dan berakhir berputar-putar di tempat karena tak bisa menyelesaikan puzzle.
Untungnya saja Tomb Raider versi baru ini menghilangkan semua hal-hal yang menganggu di versi lamanya. Sosok Lara yang baru ini sangat mudah dikendalikan. Design dari game pun dilakukan dengan sangat baik sehingga kamu takkan bingung ke mana saja kamu harus pergi, bilapun bingung game ini telah menyediakan Survival Instinct yang bisa kamu aktifkan untuk mencari tahu tujuanmu berikutnya. Yang unik adalah bagaimana Crystal Dynamics tak sekedar mendompleng resep sukses dari serial Uncharted tetapi juga mengembangkannya. Berbeda dengan petualangan Nathan yang kebanyakan linear di sini Lara memiliki tempat yang lebih luas baginya menjelajah mencari collectible maupun bertempur dengan musuh.
Jumppppp!!! Leap of faith!!!
Pulau tempat Lara terjebak pun memiliki daerah eksotisme yang berbeda-beda mulai dari hutan tempat awal Lara memulai petualangannya, gua-gua yang gelap, kota di atas bukit yang tinggi dan berjenjang, sampai pantai di tepi laut. Varian ini membuat petualangan Lara tak pernah terasa stagnan dan membosankan walaupun hanya bersetting di satu pulau saja.
Implementasi senjata dari Lara di game ini keren sekali dengan adanya senjata busur dan panah. Kehadiran senjata ini di luar senjata api konvensional lainnya (baca: handgun, shotgun, machine gun) membuka pola permainan baru yang bisa diadaptasi gamer: stealth. Bukan mustahil bermain dalam beberapa bagian dalam game ini menghabisi satu demi satu musuh tanpa ketahuan memakai busur dan panah. Akan tetapi jangan khawatir karena ada banyak juga bagian dalam game ini yang memaksamu berjibaku baku tembak dengan segerombolan musuh. Ada penyeimbangan yang pas dalam hal stealth dan gunfight di sini.
The New and Young Lara Croft
Selain senjata yang cukup variatif saya juga suka dengan implementasi sistem Upgrade Ability dan Weapon di game ini. Dalam game ini kamu bisa mendulang dua hal: Experience Point dan Salvage. Experience Point bisa kamu gunakan untuk meningkatkan kemampuan Lara, misalnya kemampuannya untuk melakukan finishing blow kepada musuh. Di lain sisi Salvage bisa kamu gunakan untuk mengupgrade senjata Lara dari panah biasa menjadi panah yang memiliki bom di dalamnya. Tambahan-tambahan ini membuatmu merasa seperti turut berpartisipasi dalam petualangan Lara.
Satu-satunya kekurangan dalam game ini adalah puzzle-puzzlenya yang terlalu mudah. Saya tahu bahwa Crystal Dynamics ingin mendahulukan narasi sehingga pemakaian puzzle yang terlalu sulit pasti mereka takutkan menganggu flow narasi cerita… akan tetapi saya merasa puzzle dalam game ini sedikit terlalu mudah. Praktis saya hanya perlu membuka walkthrough sekali ketika menghadapi puzzle terakhir saja. Tomb-tomb yang bisa dibuka Lara (optional) juga tak menawarkan puzzle yang sulit dan bisa diselesaikan dengan mudah oleh para gamer amatir (apalagi para veteran franchise ini).
A New Lara Croft
Semua hal ini bisa ditambahkan oleh Crystal Dynamics dan mereka akan tetap gagal bila tidak memberikan kepada gamer seorang Lara Croft yang relatable. Di sini saya harus mengacungkan jempol untuk divisi casting dari Crystal Dynamics. Saya semula tak mengenal siapa itu Camilla Luddington dan kenapa dirinya yang tidak seberapa seksi itu dipakai menjadi suara Lara. Akan tetapi ketika melihat design Lara yang baru saya sadar bahwa Crystal Dynamics telah mengambil keputusan yang tepat.
Camilla Luddington mungkin tidak punya – maaf – buah dada dan bibir sebesar dan setebal Angelina Jolie dan itu bagus sebab Lara sekarang adalah gadis yang lebih proporsional bentuk tubuhnya. Tambahan lagi Luddington mengisi suara Lara dengan nada British yang pas; tidak terlalu kental bak aristokrat tetapi tidak terlalu kampungan juga dengan kebanyakan British slang. Image yang saya dapat ketika melihat Luddington adalah dia seorang gadis next-door, image yang sama dengan yang dipancarkan oleh Lara dalam rebootnya ini. Ya dia mungkin tak seseksi model-model yang memerankan Lara Croft sebelumnya but Luddington sempurna sebagai Lara.
Pretty Cammy…
Kualitas grafik dari game ini konon variatif dari versi konsol dan PCnya. Saya sendiri memainkan versi PCnya (yang konon lebih superior) dan terkesima dengannya. Tak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa game ini memiliki kualitas grafik yang setara dengan Uncharted 2 dan 3 baik dari segi design maupun ketajaman grafik. Kalian yang memiliki komputer dengan spec sangat kuat bahkan bisa menyalakan efek Tress FX, sebuah efek rambut yang diciptakan oleh ATI untuk menghadirkan rambut virtual yang lebih realistis.
Jason Graves, komposer dari Dead Space, diberi tanggung jawab untuk menggarap musik dalam Tomb Raider. Ia menginfuskan banyak elemen musik dari alat-alat tradisional (dalam dokumenter The Final Hours of Tomb Raider ditunjukkan bahwa ia bahkan menciptakan alat musiknya sendiri) untuk menghadirkan kesan survival yang kuat dalam game ini. Kalaupun ada kelemahan dari departemen musik yang harus saya nit-picking mungkin terletak pada Lara’s Theme yang kurang merepresentasikan perubahan Lara sepanjang game.
So my verdict is… Tomb Raider adalah sebuah reboot yang sempurna. Cerita yang ditulis Rhianna Pratchett, representasi sempurna dari Camilla Luddington, setpiece dan dunia yang diciptakan oleh Crystal Dynamics sebuah terkombinasi menjadi sebuah paket yang tak boleh dilewatkan gamer manapun. Welcome back Ms Lara Croft! We miss you!
Final Verdict
Gameplay: 9.0
Kontrol yang bagus di sebuah pulau raksasa yang bisa menjadi tempat ‘bermain’ Lara. Juga banyak setpiece yang memorable dan dikoreografi dengan bagus berikut cerita yang menarik untuk disimak dari awal sampai akhir. Ada upgrade system membuat Lara terus berkembang dan gameplay tetap dinamis tak stagnan. Kelemahan ada pada puzzle yang terlalu mudah dan multiplayer yang kurang maksimal.
Graphic / Sound: 9.0
Pulau yang diciptakan oleh Crystal Dynamics terasa luas dan memiliki lansekap berbeda-beda. Lara terlihat lebih proporsional di sini. Pengisian suara masing-masing karakter bagus terutama Roth dan Lara. Terakhir musik dari Jason Graves seperti biasa selalu amazing!
Play Time: 9.0
Game ini bisa kamu selesaikan dalam 15 – 20 jam tergantung dari seberapa ingin kamu menemukan semua collectible yang ada. Dan siapa tau akan ada dirilis DLC berisi tomb-tomb baru dan bagian pulau lain yang bisa dibuka untuk dieksplorasi oleh Lara.
Overall: 9.0

DEAD SPACE 3

 


Dua tahun setelah Dead Space 2, akhirnya Visceral Games dan Electronic Arts melanjutkan petualangan Isaac Clarke dalam Dead Space 3. Dalam entri ketiga ini, Petualangan Isaac membawa dirinya ke sebuah planet es bernama Tau Volantis. Dead Space 3 juga merupakan judul yang cukup kontroversial karena beberapa hal seperti hadirnya mode co-op yang berkesan mirip dengan suatu game, planet es yang akan mengingatkan kepada suatu game, dan juga microtransaction. Apakah perubahan-perubahan ini membuat Dead Space 3 menjadi game third-person shooter biasa yang mengecewakan?
Review Dead Space 3
Bergaya di luar angkasa
Petualangan Isaac kali ini jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan Dead Space yang hanya bertempat di sebuah pesawat, dan Dead Space 2 yang bertempat di sebuah stasiun luar angkasa. Meskipun setting utamanya di sebuah planet, Isaac tidak langsung tiba di planet tersebut. Dead Space 3 diawali ketika Isaac sedang di apartemennya yang kemudian dia dipaksa ikut suatu tim untuk kembali menangani Marker. Awalnya Isaac tidak mau, tetapi karena suatu alasan, akhirnya dia pergi juga.
Yang cukup mengagetkan dari Dead Space 3 adalah setting tempatnya. Dead Space 3 ini mengambil tiga macam tempat: suasana urban di awal game, suasana luar angkasa di pertengahan game, dan reruntuhan markas di planet es pada bagian akhir game. Yang paling mengesankan adalah pada bagian luar angkasanya. Bagi kamu yang merasa tidak puas zero gravity di Dead Space dan Dead Space 2 kurang banyak, kamu akan merasa bahagia sekali di Dead Space 3 karena pada bagian luar angkasa ini benar-benar sangat memuaskan. Di bagian luar angkasa, gameplay menjadi sedikit open-world dimana kamu bisa bebas mengelilingi luar angkasa

ACE COMBAT ASSAULT HORIZON

 


Perubahan adalah sesuatu yang, seperti kematian, tidak bisa dihindari. Dengan semakin bertambahnya usia, seiring dengan pengalaman hidup yang semakin kaya dan banyaknya pelajaran yang didapatkan, seseorang seringkali dihadapkan pada dua pilihan: menjadi lebih baik atau lebih buruk karenanya. Hal yang sama juga terjadi pada setiap franchise game besar yang lahir di industri game. Game yang muncul berseri biasanya juga mengusung perbedaan tertentu, terkadang membuat pengalaman bermain lebih maksimal, namun tidak jarang pula yang menjadi blunder besar. Dari begitu banyak franchise, salah satu yang berhasil mempertahankan konsistensi kualitas adalah Ace Combat.
Sebagai salah satu franchise game pesawat yang cukup sukses di pasaran, Ace Combat berkembang cukup pesat dari setiap seri ke seri berikutnya. Walaupun mengusung satu genre yang sama, simulator pesawat tempur (saya lebih menyebutnya sebagai Arcade karena kesederhanaan kontrol dan gameplay), Ace Combat selalu mampu “tampil segar” lewat berbagai peningkatan yang cukup signifikan di setiap serinya. Kita tidak hanya membicarakan segi visual, namun juga pembawaan plot hingga inovasi gameplay yang semakin baik. Pada akhirnya, keberhasilan utama game pesawat seperti ini terletak pada seberapa efektifnya ia membuat adrenalin Anda terpompa. Pertanyaannya kini, mampukah Ace Combat terbaru melakukannya?
Namco Bandai mengambil sebuah langkah yang terhitung ekstrim untuk seri franchise suksesnya ini. Tren global dimana gamer tampak lebih menyenangi skema pertarungan dunia nyata (walaupun dengan plot fiktif) serta dramatisasi ala film Hollywood yang seringkali muncul dalam game-game FPS belakangan ini tampaknya menjadi dasar dibangunnnya Ace Combat: Assault Horizon. Walaupun mengandung intisari sebuah game Ace Combat yang masih terasa kental, namun Assault Horizon bisa dipandang sebagai sebuah game yang berbeda. Bukan sebuah Ace Combat yang selama ini Anda kenal. Menariknya, ia menjadi sebuah tonggak dasar bagi inovasi yang mungkin akan lebih sering kita lihat di masa depan.
Bagi Anda yang sempat membaca preview kami dan memerhatikan screenshot yang ada tentu sudah cukup mendapatkan gambaran tentang apa yang ditawarkan oleh Ace Combat: Assault Horizon ini. Anda tentu sudah merasakan perubahan gameplay yang cukup signifikan dan berbagai elemen baru di dalamnya. Semakin baik atau tidak? Simak review ini.

Plot

Palm Islands - Landmark dari Dubai digambarkan cukup baik di sini
Ace Combat selama ini memang dikenal sebagai sebuah game pesawat yang mampu menghadirkan pertarungan udara yang cepat dan menegangnkan. Namun bagi Anda yang mengikuti setiap serinya tentu mengerti bahwa setting yang dihadirkan oleh hampir sebagian besar seri Ace Combat terjadi di dunia yang fiktif. Hal ini terkadang membuat sensasi realistis game ini berkuarang. Planet, kota, dan pesawat yang tidak pernah ada di dunia nyata tentu membuat Ace Combat tak ubahnya sebuah game “imajinasi” belaka. Namun Namco Bandai tampaknya mulai perlahan merubah arah tersebut. Setelah seri terakhir Joint Assault (PSP) mengambil setting di dunia nyata, kini giliran Assault Horizon melakukan hal yang sama.
Capt. William Bishop
TRINITY is no joke!
Anda akan berperan sebagai Kapten William Bishop, seorang pilot pesawat tempur andalan NATO. Posisi Anda sebagai pemimpin salah satu skuadron terbang terhebat – Warwolf menjadi bukti nyata kemampuan terbang Anda. Di tahun 2015, yang berarti 4 tahun dari sekarang, mata dunia sedang tertuju pada dataran Afrika yang selalu bergejolak. Sebuah organisasi teroris bernama SRN menebarkan ancaman yang serius pada keamanan dunia melalui senjata pemusnah massal jenis baru yang mereka namakan TRINITY. Hal ini tentu saja mendorong PBB untuk mengambil tindakan tegas. Badan dunia ini menugaskan NATO dan Russia untuk menggelar operasi militer bersama untuk menumpas SRN dan sekaligus menghilangkan Trinity dari muka bumi. Perang pun dimulai.
Seiring dengan perperangan yang terjadi, pasukan gabungan dan skuadron Warwolf menemukan fakta mengejutkan. Kekuatan SRN yang besar tidak hanya berakar dari dirinya sendiri, namun berasal dari organisasi teroris lain – Blatnoi yang berasal dari Rusia. Kemampuan militer Blatnoi yang besar membuat kelompok ini berhasil melakukan kudeta pada pemerintahan resmi Rusia. Bersama dengan SRN, mereka mengancam akan meluncurkan Trinity pada negara-negara dunia. Anda yang dituntut untuk mencegah hal ini terjadi.
Say hello to Markov
 
 
The Shark yang ditakuti
Blatnoi yang mampu menjatuhkan sebuah negara tentu tidak berisikan orang-orang lemah. Organisasi ini berhasil merekrut orang-orang militer terbaik Rusia, khususnya mereka yang datang dari angkatan udara. Salah satunya adalah Markov. Pilot pesawat tempur yang selamat dari perang Kosovo di masa lalu ini mengawaki sebuah pesawat dengan identitas unik – Akula atau The Shark. Ia mampu bermanuver dengan cepat dan hampir tak pernah kalah dalam pertempuran udara melawan siapapun. Siapa yang menyangka jika pria ini ternyata memiliki “agenda perang” sendiri yang lebih kejam dibandingkan Blatnoi maupun SRN. Ia juga menjadi momok menakutkan yang harus ditakhlukkan oleh Bishop.
Mampukah pasukan gabungan ini menghancurkan Trinity? Apakah Bishop akan mampu mengalahkan Markov dalam pertempuran satu lawan satu? Siapakah pengkhianat yang membuat rencana NATO seringkali tidak berhasil? Jawabannya bisa Anda temukan dengan memainkan game ini.

Sniper: Ghost Warrior 2

Sniper: Ghost Warrior 2

Baru aja abis ngetes game baru ini, Sniper: Ghost Warrior 2, yang merupakan sequel dari Sniper: Ghost Warrior. Walau sebelumnya saya nggak nyoba Ghost Warrior 1, tapi jadi suka sama game sniper ini, hehe.
Game ini dibuat oleh City Interactive dan menggunakan CryEngine 3 sebagai enginenya. Tentunya para gamer sudah tau sendiri apa kelebihan dari CryEngine 3 itu.
Screenshot 1

Saya sempat mengambil beberapa screenshot di game ini, dan grafis game ini cukup bagus (saya set grafis ke kualitas terendah). Efek tembakannya pun keren-keren, jadi serasa sniper, hahaha.
Menarget
Menarget lagi
Thermal vision
Nembak!
Nembak pake thermal vision itu emang keren. Thermal vision itu, kacamata yang digunakan untuk mendeteksi musuh yang berada di balik benda/penghalang yang mendeteksi panas tubuh lawan. Keren banget kan?

BRUTAL LEGEND

 


Brutal Legend versi PC hadir dengan berbagai tambahan yang sangat menarik. Salah satunya adalah visual yang lebih baik serta performa game yang lebih sempurna. Tidak lupa juga dengan semua konten-konten DLC yang pernah diluncurkan seperti Tears of Hextadon dan The Hammer of Infinite Fate

CITIES XL PLATINUM

SONIC ALL STAR RACING

HAWX 2

HOMEFRONT

HARD RESET

DmC: Devil may Cry

 DMCDevilMayCry


Apa gamer di sini sudah ada yang memainkan game Devil may Cry yang terbaru? Bagiamana kesannya? Bagus? Kurang memuaskan? Atau gamenya bagus tapi terlalu singkat? Ya, yang jelas game DmC terbaru yang berjudul DmC: Devil may Cry ini merupakan game buatan Capcom bekerja sama dengan Ninja Theory.
Sejauh ini banyak yang menilai game ini terbilang bagus. Meskipun game ini pada awalnya sempat diragukan ‘kekerenannya’ tapi pada akhirnya Ninja Theory bisa membuktikan pada dunia gaming bahwa Dante yang satu ini bisa bersaing dengan Dante-Dante sebelumnya. icon biggrin DmC: Devil may Cry Review (PC)
Walaupun agak sedikit telat, tapi kami sekarang giliran kami yang akan member penilaian pada aksi Dante dalam game terbarunya.

The Story Back to The Past So Far…

Menceritakan tentang seorang pria yang hobinya JJM (Jalan-Jalan Malam) ke club malam, memiliki penampilan yang urakan dan tinggal di dalam sebuah mobil van yang bernama Dante.  Dante tinggal di sebuah kota yang bernama Limbo City, sebuah kota metropolitan yang dikuasai oleh Demon, karena kita bisa melihat sebuah tower raksasa berdiri di antara bangunan di Limbo City. Menara tersebut merupakan tempat tinggal Mundus, the king of Demon sekaligus orang yang bertanggung jawab atas kehancuran keluarga Sparda. Dia berencana untuk menguasai dunia, tapi ada sesuatu yang mengganjal dirinya, yaitu Son of Sparda a.k.a Dante…
Dante2 DmC: Devil may Cry Review (PC)
Story yang dihadirkan sangat menarik. Dari sini kita bisa melihat bahwa sebelumnya Dante dan saudara kembarnya Vergil sempat bekerja sama untuk menghancurkan Mundus, namun ada sesuatu hal terjadi yang membuat mereka harus berpisah. Jika dikaitkan dengan seri sebelumnya, cerita ini tidak baegitu merusak seri sebelumnya. Meskipun begitu tetapi tetap ada kesimpangsiuran cerita, terkait Eva yang ternyata dalam game ini dia seorang Angel, padahal di cerita sebelumnya pernah disebutkan bahwa dia merupakan seorang human.
Setting waktu dan tempat sangat menarik, berbeda dari game DmC sebelumnya. Sebuah kota metropolitan, yang didalamnya terdapat pabrik, stasiun televisi, club malam, dan polisi setempat pun ikut terlibat dalam game ini. Ninja Theory benar-benar menyuguhkan nuansa baru dalam game Devil may Cry.

Make The Craziest Style with New Weapon!

Meskipun gameplay yang dihadirkan masih sama dengan seri DmC sebelumnya, yaitu membasmi para demon dan mencari jalan untuk menyelesaikan chapter.  Namun Ninja Theory bisa menyulap hal yang lama itu seolah-olah menjadi sesuatu yang baru. Diantaranya adalah weapon. Di sini Dante memiliki tiga jenis senjata, yaitu Normal Weapon (Rebillion), Demon Weapon dan Angel Weapon. Dari ketiga jenis senjata itu, masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Untuk Normal Weapon, senjata ini terkesan balance (sesuai namanya). Untuk Angel Weapon, senjata ini memiliki damage yang rendah, namun memiliki kecepatan yang luar biasa. Sedangkan untuk Demon Weapon, senjata ini terkesan lambat untuk diayunkan, namun damage yang dihasilkan lebih besar dari yang lainnya.
Mantapnya, ketiga senjata itu bisa gamer gunakan secara bersamaan (bukan berarti tiga senjata bisa dilakukan sekaligus icon biggrin DmC: Devil may Cry Review (PC) ), dalam hal ini gamer bisa menggonta-ganti jenis senjata tanpa mengurangi poin style gamer. Keuntungan yang didapat jelas gamer akan semakin mudah untuk melancarakan kombo-kombo mematikan yang tujuannya untuk mendapatkan ranking SSS alias SENSASIONAL! Namun mungkin bagi para professional gamer hal ini malah membuat game ini cenderung lebih mudah untuk mendapatkan Style points. Tapi hal ini bisa saja menyulitkan gamer, karena ada demon yang hanya bisa diserang dengan senjata tertentu.
DmC4 DmC: Devil may Cry Review (PC)
Untuk alur gameplay, mungkin alur ini cenderung linier, dengan kata lain kita tidak perlu bolak-balik menuju suatu tempat untuk ke tempat berikutnya dari chapter ke chapter (kecuali chapter 2). Namun yang menariknya disini ada dua buah alat yang membantu Dante untuk mencapai jalan, yaitu Demon Ophion dan Angle Ophion. Kegunaannya sedernaha, Demon Ophion membantu Dante menarik sesuatu untuk membuka jalan, sedangkan Angel Ophion membuat Dante tertarik pada benda yang dituju (Equip ini bisa juga dipakai pada musuh). Selain itu juga selama perjalanan ada banyak jalan rahasia yang isinya tempat Key untuk membuka pintu Secret Mission dan Lost Soul.

The Great Game with Great Graphic!

DmC2 DmC: Devil may Cry Review (PC)
Pastinya, setiap game dari tahun ke tahun mau tidak mau harus berkembang dan memiliki grafis semakin bagus. Hal ini juga berlaku untuk game Devil may Cry. Game ini memiliki kualitas grafis yang mantap dan bisa berjalan di 60 FPS alias developer tidak menguncinya di 30 FPS.  Detail dari monster dan lingkungan pun terbilang mantap. Pada intinya, game ini tidak memiliki grafis yang memalukan untuk game se-generasinya.

Let’s Rock The Demon With Rock!!!

DmC1 DmC: Devil may Cry Review (PC)
Satu lagi yang mantap, yang membuat kita menikmati setiap ayunan senjata Dante dalam membasmi para demon’s scum, Music. Backsound yang dihadirkan oleh Ninja Theory untuk game ini benar-benar keren. Musik Rock yang disajikan sangat sesuai denga suasana dan keadaan Dante yang sekarang. Musik yang dibawakan oleh Noisia, musisi asal Belanda ini bisa membuat kita semakin menikmati game di dalamnya.

Play The Game Again and Again!

Sama seperti game Devil may Cry sebelumnya, setelah gamer menamatkan game ini, akan ada difficulty  baru yang menantang anda untuk bermain lagi. Jika gamer seorang professional dalam game Devil may Cry, maka gamer akan merasa sangat tertantang untuk memainkan game ini kembali, karena ada difficulty baru yang bisa membuat gamer ‘gila’, Hell and Hell. Hell and Hell merupakan tingkat kesulitan, yang dimana gamer harus membasmi musuh, dengan catatan Dante tidak boleh terluka sedikit pun.
DmC3 DmC: Devil may Cry Review (PC)
Mendapatkan difficulty ini tidaklah mudah, perlu proses yang panjang. Gamer harus menamatkan game dengan mode Heaven or Hell. Untuk mendapatkan mode tersebut gamer harus menamatkan mode Dante Must Die, dan untuk mendapatkan Dante must Die, gamer harus menamatkan mode Son of Sparda.
Sayangnya, game ini tidak menghadirkan mode Bloody Palace Mode, karena mode ini merupakan mode yang menarik untuk dimainkan apabila kita sudah menamatkan game. Sebetulnya sang developer memang berencana memasukan mode ini tapi sebagai DLC, dan itu merupakan suatu hal yang cukup disayangkan.

The Game Has Short Longevity? Maybe…

DmC6 DmC: Devil may Cry Review (PC)
Untuk longevity, saya berpikir game ini cukup singkat untuk ditamatkan. Hal ini mungkin diakibatkan karena alur yang cenderung linier dan tidak ‘bolak-balik’ seperti sebelumnya. Selain itu juga mungkin karena boss battle sangat ‘mudah’ untuk dikalahkan. ‘Mudah’ di sini adalah gamer dengan cepat bisa menemukan titik lemah dari boss battle.
Tapi meskipun game ini terasa cepat, namun saya yakin Devil may Cry terbaru ini bisa memuaskan para gamer yang haus untuk membantai para demon.

Overall…

Pada akhirnya Ninja Theory mampu membuktikan pada para gamer dan para reviewer yang ada  di muka bumi ini bahwa game buatannya bisa bersaing dengan yang lain dan tidak akan mengecewakan. Kemudian kita memainkannya dan ternyata mereka benar. Dari nilai 1-10, saya beri 8.5 untuk DmC: Devil may Cry! Let’s Rock! icon biggrin DmC: Devil may Cry Review (PC)
DmC7 DmC: Devil may Cry Review (PC)
3562

GX Scorecard

DMCDevilMayCry
8.5







Story:8/10
Gameplay:9/10
Graphic:9/10
Sound:9/10
Replayability:8/10
Longevity:8/10
Totalitas berubah ke arah yang lebih baik | Sound mantap
cerita linier | gampang buat combo | Singkat